Instagram

Wednesday, March 14, 2012

SOERJADI SOEDIRDJA, BANTEN DAN BANGKA BELITUNG

Di tahun 1998, saya (Pak Yusril Ihza Mahendra), Ryaas Rasyid dan lain-lain ditugaskan oleh Presiden BJ Habibie untuk merancang beberapa undang-undang. Saya mengetuai tim perancang RUU Partai Politik dan Ryaas mengetuai RUU Otonomi Daerah.

Saya menggagas tetap negara kesatuan di tengah isu negara federal yang ditiupkan Amien Rais, namun dengan otonomi penuh ke Propinsi, bukan Kabupaten dan Kotamadya.

Dalam gagasan itu, saya kemukakan agar Indonesia dibagi ke dalam 43 Propinsi. Indonesai akan tetap menjadi negara kesatuan yang mendekati “quasi federal”. Di samping DPR akan ada Dewan Daerah –yang belakangan menjadi Dewan Perwakilan Daerah, DPD. Saya kalah dukungan dengan Ryaas yang mengusulkan otonomi ke Kabupaten/Kota, sehingga otonomi akhirnya bukan ke Propinsi, seperti usul saya, melainkan ke Kabupaten/Kotamadya, seperti usulan Ryaas.

Dua di antara Propinsi baru dari 43 Propinsi yang saya usulkan itu, adalah Propinsi Banten dan Propinsi Bangka Belitung. Untuk hal ini ada cerita sedikit lucu.

Karena pada waktu itu Mendagrinya adalah Soerjadi Soedirdja, Orang Banten, akhirnya usulan pembentukkan Propinsi Bangka Belitung saya “barter” dengan Mendagri dan dengan Propinsi Banten-nya. Dan, alhamdulillah berjalan mulus.

Akhirnya, terbentuklah Propinsi Banten dan Propinsi Bangka Belitung.

COFFEE AND IDEOLOGY

A nice story happened in the early independence era.

It was told that in Dewan Konstituante Session (parliament in the 1950’s), which discussed the fundamental of the Republic of Indonesia (1956-1959), there were a fierce argument between Mohammad Natsir, a Masyumi figure who is anti-Communist, and Aidit, a leading figure of PKI.

They argued with each other on what should be tha state ideology of Indonesia. Both have ideological platform, which contradicted each other. However, the ideological difference didn’t spoil their personal relationship.

After the session, which was full arguments, both of them could chat, laugh together while having coffee in the cafeteria of the Parliamentary Building.

The different ideology between Natsir and Aidit did not make them enemies in politics. They were friends and respected each other in spite of the ideological difference.