Instagram

Monday, March 18, 2013

Fungsi Meterai

1.    Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (“UU 13/1985”), fungsi atau hakikat utama Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen-dokumen tertentu. Surat pernyataan atau perjanjian yang tidak dibubuhkan meterai tidak membuat pernyataan atau perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Akan tetapi, jika Anda memang bermaksud untuk menjadikan surat pernyataan atau perjanjian tersebut sebagai alat bukti di pengadilan, maka harus dilunasi Bea Meterai yang terutang.
 
2.    Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa surat pernyataan tetap sah walaupun tidak dibubuhi meterai. Akan tetapi, karena surat tersebut akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, maka dikenakan Bea Meterai sebagai pajak dokumen. Surat pernyataan yang belum dibubuhi meterai tetapi ingin diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka pelunasan Bea Meterai dilakukan dengan Pemeteraian Kemudian.
 
Menurut Pasal 1 huruf a Kepmenkeu No. 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian (“Kepmenkeu 476/2002”), pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Pemeteraian kemudian juga dilakukan atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia (Pasal 1 huruf c Kepmenkeu 476/2002).
 
Pemeteraian kemudian wajib dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan Meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan kemudian disahkan oleh Pejabat Pos (Pasal 2 ayat [1] dan [2] Kepmenkeu 476/2002). Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan (Pasal 3 huruf a Kepmenkeu 476/2002).
 
Jadi, kekuatan pembuktian surat pernyataan yang tidak dibubuhi Meterai tetapi akan dijadikan alat bukti di pengadilan, memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan surat pernyataan yang telah bermeterai. Namun, untuk dapat dijadikan alat bukti, harus memenuhi syarat administratif yaitu melunasi Bea Meterai yang terutang.
 
3.    Kami kurang memahami yang Anda maksud sebagai subjek yang memerlukan Meterai Tempel. Kami asumsikan yang Anda maksud sebagai subjek yang memerlukan Meterai Tempel adalah dokumen.
 
Di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 13/1985 telah dijelaskan apa saja dokumen yang dikenakan Bea Meterai, antara lain:
a.    Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.    akta-akta notaris termasuk salinannya;
c.    akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya;
d.    Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp1.000.000,-:
1)    yang menyebutkan penerimaan uang;
2)    yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3)    yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4)    yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e.    surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp1.000.000,-;
f.     efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp1.000.000,-.
 
Selain itu, surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, serta surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula, yang ingin digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan juga dikenakan Bea Meterai (Pasal 2 ayat [3] UU 13/1985).
 
Oleh karena itu, tidak semua dokumen harus dibubuhi dengan Meterai Tempel karena dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan. Apalagi jika yang ingin dibubuhi Meterai Tempel adalah dokumen perusahaan yang jumlahnya sangat banyak. Tentu akan menambah biaya kepada perusahaan untuk pelunasan Bea Meterai.
 
Untuk tambahan informasi, saat ini pelunasan Bea Meterai dapat dilakukan melalui aplikasi e-Meterai yang diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-66/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital. Penggunaan Meterai digital dilakukan dengan cara Wajib Pajak memiliki dahulu mesin teraan meterai kemudian mengajukan permohonan izin kepada Kantor Pelayanan Pajak dan membayar deposit sebesar Rp15.000.000,- dan kelipatannya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Kantor Penerima Pembayaran. Setelah itu, wajib pajak dapat mencetak Tanda Bea Meterai Lunas sesuai tarif Bea Meterai yang dikenakan.
 
 
Dasar hukum:
2.    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 Tahun 2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dgn Cara Pemeteraian Kemudian
3.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-66/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai

Friday, March 8, 2013

Pengemudi Tidak Dapat Tunjukkan SIM, Motor Bisa Disita Polisi?

Sanksi untuk orang yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi (“SIM”) saat pemeriksaan diatur dalam Pasal 288 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), sebagai berikut:
 
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).”
 
Apabila saat pemeriksaan ternyata diketahui pengemudi membawa kendaraan bermotor tidak mempunyai SIM, maka sanksinya lebih berat sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU LLAJ:
 
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).”
 
 
Berdasarkan Pasal 106 ayat (5) jo. Pasal 265 UULLAJ, SIM dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”) memang merupakan hal yang diperiksa oleh petugas polisi lalu lintas dalam hal pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.
 
STNK dan SIM memiliki fungsi yang berbeda. STNK berfungsi sebagai tanda bahwa kendaraan bermotor telah diregistrasi (lihat Pasal 65 UU LLAJ), sedangkan SIM berfungsi sebagai tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan UULLAJ (Pasal 1 angka 4 Perkapolri No. 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi)
 
Kemudian, mengenai penyitaan kendaraan bermotor oleh petugas polisi lalu lintas, hal ini terkait dengan kewenangan polisi lalu lintas. Kewenangan petugas polisi lalu lintas tersebut diatur dalam Pasal 260 UULLAJ:
 
(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang:
 
a.    memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c.    meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum;
d.    melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
e.    ……
f.     ……
 
Mengenai penyitaan kendaraan bermotor, saat ini telah terbit peraturan perundang-undangan terbaru yaitu PP No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”). Konsekuensi jika Saudara tidak membawa SIM saat pemeriksaan kendaraan bermotor adalah polisi dapat menyita STNK Saudara (lihat Pasal 32 ayat [3] PP 80/2012).
 
Kemudian, mengenai penyitaan kendaraan bermotor, hal tersebut dapat dilakukan jika (Pasal 32 ayat [6] PP 80/2012):
a.    Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan yang sah pada waktu dilakukan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan;
b.    pengemudi tidak memiliki Surat Izin Mengemudi;
c.    terjadi pelanggaran atas persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan Kendaraan Bermotor;
d.    Kendaraan Bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana; atau
e.    Kendaraan Bermotor terlibat kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya orang atau luka berat.
 
Berdasarkan ketentuan PP 80/2012 tersebut, memang kendaraan bermotor Saudara tidak dapat disita hanya karena tidak dapat menunjukkan SIM. Namun, akibat tidak membawa SIM, STNK Saudara dapat disita oleh polisi, sehingga apabila kemudian ada pemeriksaan kendaraan bermotor lagi dapat berakibat kendaraan bermotor Saudara disita karena tidak dilengkapi dengan STNK.
 
Jadi, apabila tidak dapat menunjukan SIM saat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan tidak menjadikan polisi dapat menyita kendaraan bermotor.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi

Seputar Profesi Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer)

Istilah-istilah seperti associate lawyer, senior lawyer, dan junior lawyer dan lain sebagainya merupakan istilah-istilah yang berkaitan dengan struktur atau jenjang karir pengacara, yang sekarang disebut advokat, dalam kantor advokat, dalam hal ini yang berbentuk firma (firma hukum). Meski demikian boleh jadi tiap-tiap kantor advokat memiliki istilah atau nama yang berbeda untuk organisasi mereka masing-masing.
 
Mengenai tugas dan tanggung jawab, secara umum, sebagai advokat mereka – baik associate, senior, ataupun junior lawyer -- dapat memberikan jasa hukum kepada klien. Akan tetapi, manajemen kantor advokat dapat membuat deskripsi yang lebih rinci lagi mengenai tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.
 
Mengutip buku “Law Office Management” yang ditulis Jonathan S. Lynton, menurut Ira Andara Eddymurthy, jenjang karir dalam suatu Kantor Hukum adalah sebagai berikut:
  1. Equity Partner, salah satu darinya akan menjadi Managing Partner;
  2. Non-equity Partner/Contract Partner;
  3. Of Counsel/Advisor;
  4. Senior Partner;
  5. Associate Attorney;
  6. Senior Attorney;
  7. Non-lawyer Partner;
  8. Contract Attorney/Intern (Magang);
  9. Freelance Attorney;
  10. Law Clerks (Paralegal).
 
Demikian tulis Ira Andara Eddymurthy yang juga advokat dan partner pada Law Firm Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono (SSEK) dalam buku “Manajemen Kantor Advokat di Indonesia (Lawfirm Management in Indonesia)” yang diterbitkan Centre for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL).
 
Seperti kami telah jelaskan di atas, istilah associate, senior dan junior lawyer/attorney merupakan jenjang karir bagi seorang advokat (lawyer, attorney) dalam suatu kantor advokat. Masing-masing kantor advokat boleh jadi memiliki istilah atau nama yang berbeda-beda untuk setiap jenjang. Kantor advokat SSEK misalnya, tidak menggunakan istilah junior lawyer dan senior lawyer. “Kami menggunakan istilah Level 1, Level 2, Associates, Contract/Salary Partner dan Equity Partner,” jelas Ira saat kami minta pendapatnya.
 
Jenjang karir dan pola pengangkatan di kantor advokat dapat ditentukan berdasarkan masa kerja, prestasi kerja, ataupun ukuran-ukuran lain. Di SSEK yang memiliki 58 lawyer, menurut Ira, promosi dari Level 1 ke Level 2 ditentukan berdasarkan pencapaian seorang advokat dalam pekerjaannya, selain dilihat dari masa kerja. “Untuk setiap level-nya dua sampai tiga tahun. Di kantor kami, setelah 10, atau paling lama 15 tahun, baru dapat diangkat ke level Partner,” jelasnya.
 
Untuk kantor advokat yang tidak memiliki banyak advokat (15 orang atau kurang) boleh jadi struktur organisasinya jauh lebih sederhana dibandingkan kantor advokat menengah dan besar yang memiliki 50 advokat atau lebih.
 
Jenjang karir di kantor advokat juga bisa berbeda-beda antara kantor advokat yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan litigasi (jasa hukum di dalam pengadialan) dengan kantor advokat yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan korporasi atau non-litigasi (jasa hukum di luar pengadilan).

Jerat Hukum Bagi Penyebar Capture Percakapan via BBM

Capture Blackberry Messenger (“BBM”) merupakan bentuk salinan/copy gambar atau teks yang pada umumnya berformat fail image (gambar). BBM yang dikirim oleh seseorang dapat ditujukan kepada penerima perseorangan maupun penerima kelompok (group). BBM yang ditujukan kepada penerima perseorangan, menurut pendapat kami, dapat dikatakan sebagai bentuk percakapan elektronik secara privat.

Penyebaran percakapan elektronik privat ke area publik baik melalui BBM group atau perseorangan, atau mungkin dengan cara disebarkan ke banyak penerima secara bebas (broadcast) merupakan bentuk pelanggaran privasi sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).

Dalam UU ITE terdapat dua pasal yang terkait dengan kemungkinan pelanggaran dalam penyebaran capture percakapan via BBM ini:

Pertama, yaitu ketentuan mengenai data pribadi yang terdapat pada Pasal 26 UU ITE. Jika di dalam capture percakapan via BBM tersebut terdapat data pribadi di antaranya nama, tulisan, dan/atau gambar yang dapat mengidentifikasikan seseorang maka penyebaran percakapan tersebut melalui media elektronik baik yang dilakukan oleh pihak di luar percakapan maupun oleh pihak yang ada dipercakapan harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Pelanggaran terhadap Pasal 26 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi perdata.

Berikut ini bunyi keseluruhan dari Pasal 26 UU ITE:
(1)  Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.”

Kedua, yaitu ketentuan mengenai pencemaran nama baik. Jika dari penyebaran percakapan tersebut melalui media elektronik mencemarkan status/reputasi/kehormatan/nama baik dari seseorang, maka pihak yang dengan sengaja menyebarkan/mendistribusikan percakapan tersebut tanpa hak atau dapat dimaknai tanpa persetujuan orang yang bersangkutan melanggar ketentuan dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut:

”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Tindakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE yaitu pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimal Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Hal lain yang perlu diperhatikan terkait capture BBM adalah, mengingat bentuk file capture BBM adalah image, bukan tidak mungkin jika capture BBM diedit atau direkayasa dengan software perekayasa gambar sesuai kehendak pihak yang menyebarkan sehingga tampak seolah-olah sesuai dengan aslinya. Tidak ada yang bisa menjamin secara kasat mata bahwa capture BBM yang dikirimkan oleh seseorang itu pasti identik dengan format BBM sebagaimana aslinya. Dibutuhkan pengujian atau pengamatan ilmiah (misalnya melalui metode digital forensik) untuk memastikan suatu capture BBM adalah asli (sesuai dengan bentuk maupun konten asalnya).

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:


Tuesday, March 5, 2013

Bolehkah Bar Menyediakan Pekerja Seks Komersial?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) Daring, yang dimaksud dengan pub adalah:
 
tempat hiburan khusus untuk mendengarkan musik sambil minum-minum yg dibuka pd waktu malam (sampai larut malam)
 
Di dalam KBBI Daring, definisi pub mirip dengan bar yaitu:
tempat minum-minum (biasanya minuman keras, spt anggur, bir, wiski)
 
Selanjutnya, kami akan jelaskan perizinan usaha bar menurut peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. 104/PW.304/MPPT-91 Tahun 1991 tentang Ketentuan Usaha Bar (“Kepmen Pariwisata No. 104/1991”), yang dimaksud dengan bar adalah setiap usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menghidangkan minuman keras dan/atau minuman lainnya untuk umum di tempat usahanya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan bar dalam ketentuan Kepmen Pariwisata No. 104/1991 tidak termasuk Bar yang merupakan salah satu fasilitas usaha hotel, restoran dan usaha rekreasi dan hiburan umum (Pasal 1 ayat (2) Kepmen Pariwisata No. 104/1991).
 
Pada dasarnya, kegiatan usaha yang dilakukan oleh bar adalah kegiatan penjualan dan penyediaan jasa pelayanan minuman keras dan/atau minuman lainnya kepada tamu bar (sebagai usaha pokok) serta makanan ringan sebagai usaha penunjang yang tidak terpisah dari usaha pokoknya, dengan ketentuan bahwa penjualan minuman keras hanya diperbolehkan kepada tamu bar yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas untuk diminum di lingkungan bar (Pasal 2 Kepmen Pariwisata No. 104/1991).
 
Untuk melakukan kegiatan usaha bar dibutuhkan izin sebagai berikut (Pasal 6 jo. Pasal 7 Kepmen Pariwisata No. 104/1991):
a.    izin usaha, yang diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I cq. Kepala Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I, tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pariwisata melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi setempat;
b.    izin penjualan minuman keras oleh instansi yang berwenang. Dalam hal ini dikeluarkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pasal 5 ayat [1] Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol)
 
Kemudian, dalam menjalankan usaha bar, pimpinan usaha bar mempunyai kewajiban, yang salah satunya adalah menjaga martabat usaha mencegah penggunaan Bar untuk kegiatan-kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum serta pelanggaran kesusilaan (Pasal 5 huruf c Kepmen Pariwisata No. 104/1991).
 
Penyediaan pekerja seks komersial atau pelacur itu sendiri pada dasarnya melanggar kesusilaan. Karena itu, pemilik pub atau bar dilarang menyediakan pekerja seks komersial. Jika ada pub yang menyediakan pekerja seks komersial, maka pemiliknya bisa dijerat dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:
 
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
 
Mengenai ketentuan Pasal 296 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa pasal ini untuk memberantas orang-orang yang mengadakan rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran. Supaya dapat dihukum berdasarkan pasal ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan itu menjadi “pencaharian” (dengan pembayaran) atau “kebiasaannya” (lebih dari satu kali). Yang dimaksud perbuatan cabul itu sendiri, merujuk kepada penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 289 KUHP, yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula dalam pengertian perbuatan cabul.
 
Akan tetapi, perlu diingat bahwa hukuman pidana tidak dapat dikenakan kepada korporasi karena berdasarkan perumusan dalam KUHP, yang dihukum adalah seseorang atau barang siapa yang melakukan tindakan tersebut.
 
Apabila penyediaan pekerja seks komersial tersebut dilakukan dengan ancaman kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja seks komersial, maka bisa juga dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU No. 21/2007”).
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 21/2007, perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
 
Sedangkan, yang dimaksud dengan eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
 
Apabila tindak pidana perdagangan orang tersebut dilakukan oleh korporasi, berdasarkan Pasal 15 UU No. 21/2007, terhadap tindak pidana tersebut dapat dikenakan pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, selain itu, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi itu sendiri adalah berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU No. 21/2007, serta dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.    pencabutan izin usaha;
b.    perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c.    pencabutan status badan hukum;
d.    pemecatan pengurus; dan/atau
e.    pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
 
Jadi, dapat kiranya disimpulkan bahwa pemilik usaha pub atau bar dilarang menyediakan pekerja seks komersial. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat berakibat pemilik pub/bar yang bersangkutan dipidana, dan izin usahanya dicabut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
3.    Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
4.    Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. 104/PW.304/MPPT-91 Tahun 1991 tentang Ketentuan Usaha Bar.

Apakah keterangan palsu di bawah sumpah itu harus diproses hukum setelah ada perintah dari hakim? Dan seandainya pemberi keterangan merasa bahwa keterangan yang diberikan adalah benar atau merasa tidak palsu, apakah pemberi keterangan tetap bisa diproses sebagai tersangka?

Memberikan keterangan Sumpah Palsu di bawah sumpah atau yang biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu, diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Ayat 1
“Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Ayat 2
“Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
 
Sebagai informasi untuk Anda, Sumpah Palsu/Keterangan Palsu adalah Delik Formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasalnya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Delik Sumpah Palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut.
 
Menjawab pertanyaan Anda, sesuai dengan Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), apabila keterangan seorang saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak benar), maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan palsu.
 
Selanjutnya, apabila saksi tersebut tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa (maupun Penasihat Hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan, kemudian panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan panitera, dan selanjutnya menyerahkannya kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
 
Sesuai dengan hasil diskusi penjawab dengan Asep Iwan Iriawan (mantan Hakim), maka dalam praktiknya, hakim mempunyai hak untuk menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi tersebut berbohong, maka hakim ketua akan men-skorsing sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika musyawarah tersebut mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.
 
Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu tersebut. Tentunya dengan ketentuan bahwa sebelumnya hakim harus memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana, dalam hal saksi tersebut tetap memberikan keterangan yang palsu (tidak benar).
 
Dengan demikian, ketegasan seorang hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, yaitu khususnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah tersebut.
 
Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu tersebut merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap diproses sebagai tersangka atau terdakwa, maka berpadanan pada asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah tersebut adalah bergantung sepenuhnya dari bagaimana proses pembuktian atas perkara tersebut di pengadilan.
 
Sebagai bahan referensi untuk mendukung opini tersebut, penjawab juga akan mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya: “KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, hal. 183, disebutkan:
 
“Supaya dapat dihukum pembuat (saksi yang diduga memberikan keterangan palsu) harus mengetahui, bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata bahwa ia sebenarnya tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum. Mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan sengaja).

Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

Apakah advokat/pengacara boleh menolak klien untuk dibela? Dasar hukumnya apa?

Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas profesinya advokat terikat pada kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sumpah/janji advokat atau kode etik profesi advokat (lihat pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat/”UU Advokat”).
Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap sumpah/janji advokat yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Salah satu sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi:
Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.
Namun, di dalam Kode Etik Profesi Advokat (“KEAI”) advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan – dalam kondisi-kondisi tertentu -- untuk menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan diri dari pengurusan perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa:
a.      advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (lihat pasal 3 huruf a KEAI);
b.      advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (lihat pasal 4 huruf g KEAI);
c.      advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf j KEAI).
Akan tetapi, KEAI melarang advokat menolak klien dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya (lihat pasal 3 huruf a KEAI). Larangan yang sama juga diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Advokat.
Selain itu, advokat juga tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf i KEAI).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat diperbolehkan menolak klien apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi yang diatur dalam pasal 3 huruf a, pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2.      Kode Etik Advokat Indonesia