Instagram

Sunday, November 27, 2011

Interpretasi Hukum (Menuju Penafsiran Hukum yang Berkeadilan)


Abstrak; Aliran positivistik memandang bahwa Undang-undang sudah mengatur segala hal. Tugas hakim adalah menerapkan peraturan yang tertulis dalam undang-undang. Akan tetapi, dalam realitasnya fenomena sosial bersifat dinamis dan selalu berubah. Undang-undang tidak akan lagi mampu menyelesaikan semua kasus  yang dihadapinya. Dalam posisi ini, hakim diharuskan menemukan solusi atas permasalahan hukum yang dihadapinya dengan menggali makna yang ada dalam teks undang-undnag. Salah satu cara yang bisair dipakainya adalah dengan melakukan interpretasi. Interpretasi hukum merupakan salah satu metode yang dapat menjembatani antara perturan perundang-undangan yang statis dengan fakta sosial dan perubahan zaman yang dinamis dan selalu berubah. Undang-undang tidak akan mungkin mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat. Oleh karena itulah, diperlukan metode yang tepat bagi seorang hakim dalam memecahkan persoalan hukum yang dihadapi, di satu sisi dapat memenuhi tuntutan masyarakat dalam mencapai keadilan dan di sisi lain dapat memberikan kepastian hukum yang menjadi kehendak undang-undang. Ilmu hukum sudah menyediakan bagi hakim berbagai metode interpretasi hukum yang dapat dipakai oleh hakim untuk memecahkan permasalahan hukum yang dihadapinya dan ia tidak mendapatkan ketentuan hukumnya dalam perundang-undangan. Tulisan ini mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan interpretasi hukum, hubungan tugas hakim dan undang-undang dan penemuan hukum oleh hakim.
  1. A. Pendahuluan
Sejak hukum membuat tradisi untuk ditulis (written law), maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang penting sekali. Sejak pembacaan teks menjadi penting, maka penafsiran terhadap teks hukum tak dapat dihindarkan. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Mengatakan bahwa teks hukum sudah jelas adalah satu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberi penjelasan. (Rahardjo, 2005: 1).
Penafsiran atau interpretasi hukum menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk menjadikan hukum bersifat dinamis, bisa mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa terdapat pertarungan sengit antara para ahli hukum tentang apakah penafsiran atau interpretasi atas hukum itu diperlukan ataukah tidak. Apakah hakim memiliki hak untuk menemukan atau membuat hukum, termasuk di antaranya melakukan interpretasi hukum? Bukankah menjadi tugas parlemen untuk membuat hukum, sedangkan pengadilan, hakim dan penegak hukum lainnya hanya bertugas menerapkan hukum ?
Tulisan ini akan sedikit mengelaborasi tentang apa dan bagaimana yang dinamakan dengan interpretasi hukum. Sebelum memasuki wilayah pembahasan tentang interpretasi hukum, akan sedikit disinggung tentang hubungan tugas hakim dan undang-undang karena interpretasi sangat berkaitan dengan tugas hakim yang berkaitan dengan pemahaman terhadap undang-undang. Selanjutnya juga akan sedikit diulas tentang berbagai metode penemuan hukum oleh hakim yang interpretasi adalah salah satu diantara metode tersebut.
  1. B. Aliran-aliran tentang Tugas Hakim dan Undang-undang
Tugas pokok hakim sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah mengadili, memeriksa, dan memutuskan suatu perkara. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa bagi hakim, memutuskan setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan sebuah kewajiban. Selain itu, hakim juga bertugas untuk menghubungkan aturan abstrak dalam undang-undang dengan fakta konkret dari perkara yang diperiksanya. Dalam hubungan ini, apakah hakim, seperti yang digambarkan oleh Trias Politica Montesquie hanya menerapkan undang-undang, atau hakim harus menggunakan pikirannya atau penalaran logisnya untuk membuat interpretasi atau penafsiran terhadap aturan yang ada dalam perundang-undangan ?
Perdebatan yang timbul dari pertanyaan tersebut sudah berlangsung dalam waktu yang lama dan melahirkan berbagai aliran pemikiran dalam ilmu hukum. Ali (2002: 132) mengatakan bahwa yang mula-mula dikenal adalah aliran legis, yang cenderung memandang hakim tidak lain hanya sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Kemudian muncul aliran penemuan hukum oleh hakim, yang memandang hakim dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dengan jalan konstruksi hukum atau interpretasi. Terakhir muncul lagi aliran realis di Amerika Serikat dan Skandinavia, yang pada pokonya memandang hakim tidak sekadar “menemukan hukum” melainkan “membentuk hukum” melalui putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada pengaruhnya terhadap putusan hakim, akan tetapi hanya sebagai salah satu unsur pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh prasangka politik, ekonomi maupun moral. Bahkan perasaan simpati dan antipasti pribadi juga turut mempengaruhi putusan hakim.
Ali (2002: 132) kemudian menguraikan aliran-aliran tersebut:
  1. Aliran Legis
Pada saat Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa betapa ketidakpastian berlangsung di dunia hukum. Akhirnya muncul masa dimana kepercayaan sepenuhnya dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian dari hukum tak tertulis. Tetapi terjadilah kepercayaan yang berlebihan akan kemampuan undang-undang. Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan undang-undang, tetapi di pihak lain muncul kelemahan undang-undang, khususnya sifatnya yang statis dan kaku.
Aliran legisme pernah mengalami masa-masa emasnya selama beberapa abad. Diantara tokoh-tokoh yang menyuarakan dan membela aliran ini adalah Montesquieu yang menganggap hakim sebagai corong belaka bagi undang-undang, Justianus yang mengancam dengan pidana pada siapa saja yang memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang, Rousseau yang mengatakan bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam satu Negara adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan dalam undang-undang,  juga Robespierre yang menginginkan perkataan yurisprudensi dihapuskan saja, dan tokoh-tokoh lain.
Inti pandangan legisme adalah bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Oleh penganut legisme, undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan yang ada di zamannya.
Pandangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang karena semakin lama semakin disadari bahwa undang-undang tidak pernah lengkap dan tidak selamanya jelas. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum menimbulkan kesulitan dalam penerapannya secara “in-konkreto” oleh para hakim di pengadilan. Tidak mungkin hakim mampu menyelesaikan persengketaan, jika hakim hanya berfungsi sebagai “corong undang-undang”. Hakim harus melakukan kreasi. Inilah yang kemudian melahirkan pandangan tentang bolehnya hakim melakukan penemuan hukum melalui putusannya.
  1. Aliran Penemuan Hukum oleh Hakim
Ketika dirasakan betapa aliran legis tidak mampu lagi memecahkan problem-problem hukum yang muncul, maka pemikiran legis ini mulai ditinggalkan, dan kalangan hukum berpendapat bahwa melakukan penemuan hukum oleh hakim adalah sesuatu yang wajar. Aliran ini ada beberapa macam;
  1. Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran yang membolehkan hakim melakukan penemuan hukum, diawali dengan yang dikenal sebagai begriffsjurisprudenz. Aliran ini memulai memperbaiki kelemahan yang ada pada ajaran legis.
Aliran ini mengajarkan bahwa sekalipun benar undang-undang itu tidak lengkap, namun undang-undang masih dapat menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas. Aliran ini memandang hukum sebagai satu sistem tertutup, di mana pengertian hukum tidaklah sebagai sarana melainkan sebagai tujuan, sehingga teori hukum menjadi teori tentang pengertian (Begriffsjurisprudenz). Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang. Dengan demikian, peradilan lebih bersandar pada ilmu hukum. Maka kegiatan hakim terdiri dari sistematisasi, penghalusan hukum dan pengolahan hukum dalam sistem itu melalui penjabaran logis peraturan undang-undang menjadi berbagai asas hukum. (Mertokusumo, 2001: 96)
  1. Aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule)
Sebagai kritikan terhadap aliran Begriffsjurisprudenz, muncul aliran Interessenjurisprudenz (Freirechtsshule). Menurut aliran ini, undang-undang jelas tidak lengkap. Undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, sedangkan hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya untuk melakukan “penemuan hukum” dengan memperluas dan membentuk peraturan melalui putusannya. Untuk mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, hakim bahkan boleh menyimpang dari undang-undang demi kemanfaatan masyarakat. (Ali, 2002: 138 dan Mertokusumo, 2001: 97-98)
Hanya saja, adanya kebebasan hakim dalam membuat keputusan dan peraturan, memungkinkan terjadi kesewenang-wenangan hakim dalam membuat keputusan. Itulah salah satu kelemahan yang dialamatkan pada aliran ini.
  1. Aliran Soziologische Rechtsshule
Reaksi terhadap aliran Interessenjurisprudenz ini memunculkan aliran soziologische rechtsshule yang pada pokoknya hendak menahan kemungkinan munculnya kesewenang-wenangan hakim. Aliran ini tidak setuju jika hakim diberi kebebasan dalam membuat peraturan, akan tetapi tetap mengakui bahwa hakim tidak hanya sekedar “terompet undang-undang”, melainkan di samping berdasarkan pada undang-undang, hakim juga harus memperhatikan kenyataan-kenyataan masyarakat, perasaan dan kebutuhan hukum warga masyarakat serta kesadaran hukum warga masyarakat. Aliran ini menolak adanya kebebasan dari hakim sebagaimana yang diinginkan freirechtsshcule. (Ali, 2002: 139)
Aliran ini menuntut adanya hakim yang memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang cukup luas, bukan sekedar menguasai peraturan-peraturan hukum yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan juga menguasai ilmu ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang berkualitas seperti itu, banyak ditentukan pula oleh “proses rekrutmen” calon hakim. Sebaiknya yang diterima sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. Selain itu, peningkatan kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan, baik dengan penataran atau kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan para hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium, dan sebagainya.
  1. Ajaran Paul Scholten
Aliran-aliran yang ada sebelumnya, oleh Paul Scholten dianggap berat sebelah. Menurutnya, hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling berkaitan, aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khsusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik semata-mata. Hakim juga harus bekerja atas dasar penilaian, dan hasil penilaian itu menciptakan sesuatu yang baru.
Paul Scholten sebagaimana dikutip Ali (2002: 141) melihat bahwa sistem hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah ajarannya yang disebut open system van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut, Karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa sistem hukum itu sifatnya terbuka. Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud interpretasi dan konstruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih primer, sedangkan hakim mempunyai “keadaan terikat” pada yang lebih primer itu.
  1. C. Metode Penemuan Hukum
Di dalam Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Th. 1970, pasal 14 ayat (1) jo. UU No. 35 Th. 1999 jo. UU No. 4 Th. 2004) terdapat ketentuan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan ketentuan ini, maka hakim dianggap memahami hukum dan andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali hukum tidak tertulis terutama nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk memutuskan permasalahan berdasarkan hukum. Hal ini mengharuskan hakim mempelajari berbagai cara menemukan hukum yang memang sudah disediakan oleh ilmu hukum. (Ardhiwisastra, 2000: 1).
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hakim selalu melakukan penemuan hukum atau tidak. Kedua pendapat itu adalah sbb.:
  1. a. Penganut Doktrin “Sensclair”
Penganut aliran ini berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika;
  1. Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau
  2. Peraturannya sudah ada akan tetapi belum jelas.
Menurut penganut pandangan ini, di luar dua keadaan di atas, penemuan hukum oleh hakim tidak ada. (Ali, 2002: 145)
  1. b. Penganut Penemuan Hukum Selalu Harus Dilakukan
Aliran ini memiliki pandangan bahwa dalam setiap putusannya, hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa (termasuk bahasa undang-undang) senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Bahasa memuat interpretasi yang beragam, dan hakim ketika membaca teks hukum sebenarnya tidak hanya sekedar membutuhkan kemampuan membaca sebagaimana orang lain membaca, akan tetapi ia juga harus mampu menafsirkan dengan tepat apa yang ia baca itu dan menghubungkannya dengan konteks untuk apa bacaan itu dibaca. (Ali, 2002: 146-147). Ini yang menjadikan hakim dituntut dan memang selalu harus melakukan penemuan hukum.
Aliran inilah yang nampaknya dianut oleh sistem hukum Indonesia sesuai ketentuan UU No. 14 Th. 1970, pasal 14 ayat (1) jo. UU No. 35 Th. 1999 jo. UU No. 4 Th. 2004 di atas. Pengadilan atau hakim tidak bersifat pasif dan menjadi corong belaka bagi badan perundangan seperti digambarkan Montesquieu, akan tetapi aktif berperan di dalam menemukan hukum atau membentuk hukum baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pengadilan atau hakim itu merupakan unsur yang cukup penting tidak saja di dalam menemukan hukum tetapi juga di dalam mengembangkan hukum. (Kusumaatmadja, 1999: 98)
Penganut aliran ini merupakan penentang ajaran Trias Politica Montesquieu yang memberikan pemisahan yang tegas antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Achmad Ali (2002: 155) mengatakan bahwa dengan semakin kompleksnya masyarakat modern kini, sudah tidak realistis lagi untuk menerima Trias Politica. Di saat kita mau menganut pemisahan yang tajam dari ketiganya, maka di saat itu kita menjadi penganut legisme, menjadi positivis, yang hanya mengagungkan undang-undang buatan legislatif sebagai satu-satunya sumber hukum. Dan ini berarti kita mundur ratusann tahun ke belakang dan menjadi “lari dari kenyataan” masa kini.
Achmad Ali (2002: 156) kemudian membedakan metode penemuan hukum oleh hakim menjadi dua jenis, yaitu: metode interpretasi dan metode konstruksi. Pada metode interpretasi, penafsiran terhadap teks undang-undang dengan tetap berpegang pada bunyi teks. Sedangkan pada  metode konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.
Berikut ini adalah penjelasan tentang dua metode tersebut dengan menitikberatkan pembahasan pada metode interpretasi.
  1. 1. Metode Interpretasi
    1. a. Pengertian Interpretasi
Sebelum berbicara lebih jauh tentang interpretasi, akan disampaikan terlebih dahulu dalam tulisan ini pengertian interpretasi baik secara bahasa maupun secara istilah.
Ensiklopedi Indonesia (1982: 1466) memberikan pengertian interpretasi secara kebahasaaan sebagai berikut:
“Interpretasi berasal dari bahasa latin interpretatio = penjelasan, keterangan. Tafsiran mengenai suatu pernyataan, uraian atau naskah; mengemukakan arti luas atau lebih mendalam dari apa yang terlihat atau diketahui sepintas lalu; mengungkapkan hal yang tersirat dari apa yang tersurat. Interpretasi merupakan kegiatan yang mengakibatkan bahwa kenyataan fisik atau psikologis dengan model konsepsional yang mmeberi arti dan tempat bagi kenyataan tersebut…”

Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994: 384) mengartikan interpretasi dengan pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Marmor (2005: 9) membedakan interpretasi dalam arti sempit dan arti luasnya. Interpretasi dalam maknanya yang luas mencakup semua bentuk penjelasan dan pemahaman, sedangkan interpretasi dalam makna sempitnya hanya mencakup pada pemahaman yang bersifat unik.
  1. b. Berbagai Metode Penafsiran Hukum
Agar dapat mencapai kehendak dari pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial, hakim menggunakan beberapa cara penafsiran,[1] yaitu:
  1. Metode Subsumptif
Yang dimaksud dengan metode subsumptif adalah di mana hakim harus menerapkan suatu teks undang-undang terhadap kasusu in-konkreto, dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Sebagai contoh, seorang hakim yang mengadili perkara pidana, dimana penuntut umum mendakwakan bahwa terdakwa melakukan pencurian. Dalam Hukum Pidana Indonesia, pencurian diatur dalam pasal 362 KUH Pidana yang menuntut terpenuhinya beberapa unsur, yaitu:
  1. Mengambil suatu barang,
  2. Barang itu sebagian atau seluruhnya milik orang lain,
  3. Dengan maksud untuk memiliki,
  4. Secara melawan hukum
Apa yang dimaksud dengan barang ? Apa yang termasuk kriteria pemilikan ? Apa yang dimaksud melawan hukum ? Semua pertanyaan tersebut tidak ditemukan penjelasannya dalam pasal KUH Pidana. Pengertian masing-masing unsur itu diketahui baik dari doktrin maupun yurisprudensi. Jika hakim masih sependapat dengan doktrin atau yurisprudensi yang ada, berarti hakim “hanya menerapkan” dengan mencocokkan unsur-unsur yang ada dalam pasal 362 KUH Pidana tadi dengan peristiwa konkrit yang didakwakan pada terdakwa. Proses pencocokan unsur-unsur undang terhadap peristiwa konkrit itulah yang dinamakan dengan metode subsumptif. (Ali, 2002: 165)
  1. Penafsiran/interpretasi bahasa atau tata bahasa atau gramatikal
Interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari pada hanya sekedar “membaca undang-undang”. (Mertokusumo, 2005: 170-171). Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). “Peralatan rumah tangga” dan “alat angkutan” misalnya harus diartikan secara wajar dalam hubungannya dengan perkara yang diperiksa pengadilan. Ini tidak menghalangi penggunaan istilah yang lebih teknis bila hal itu diperlukan. “Kendaraan” (air), misal yang lain, adalah segala angkutan orang atau barang yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain di atas atau di bawah permukaan air. (Kusumaatmadja, 1999: 100). Akan tetapi, hal ini tidak berarti hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi gramatikal ini juga harus logis. Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga dengan metode obyektif.
  1. Apabila interpretasi bahasa tidak bisa menolong si pemakai hukum, maka bisa dilakukan interpretasi sejarah. Ini bisa merupakan interpretasi berdasarkan pemeriksaan atau penelitian sejarah hukum atau sejarah perundang-undangan. Interpretasi sejarah hukum merupakan suatu interpretasi yang luas yang juga meliputi interpretasi sejarah perundang-undangan. Sedangkan interpretasi sejarah perundang-undangan bersifat lebih sempit, yaitu menyelidiki maksud pembuat peraturan dalam menetapkan peraturannya. (Utrecht, 1989: 209)
Karena interpretasi sejarah hukum bisa luas dan jauh sekali (dan seringkali kurang relevan secara langsung), interpretasi sejarah kini cenderung untuk diartikan sebagai interpretasi sejarah perundang-undangan yaitu sejarah terjadinya undang-undang atau ketentuan hukum tertulis itu. (Kusumaatmadja, 1999: 101 dan Dirjosisworo, 1999: 157).
Dengan penafsiran menurut sejarah, hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini adalah bahwa undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undang-undang. Di sini kehendak pembentuk undang-undang yang menentukan. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi subyektif karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subyektif pembentuk undang-undang sebagai lawan interpretasi menurut bahasa yang disebut metode obyektif. Sumber interpretasi ini adalah surat menyurat dan pembicaraan di DPR, yang kesemuanya itu memberikan gambaran tentang apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
Undang-undang itu tidak terjadi begitu saja. Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur yang dapat dijelaskan secara historis. Setiap pengaturan dapat dilihat sebagai satu langkah dalam perkembangan masyarakat. Suatu langkah yang maknanya dapat dijelaskan apabila langkah-langkah sebelumnya diketahui juga. Ini meliputi seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang. (Mertokusumo, 2005: 173).
Untuk melihat dengan menyeluruh maksud dari masing-masing pasal yang ada di UU No. 1 tahun 1974 bila diperlukan penafsiran atasnya, maka perlu dilakukan pengkajian dengan baik sejarah yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang tersebut, misalnya tentang sejarah gerakan emansipasi wanita Indoensia dan juga terjadinya pro dan kontra di sekitar pembentukan undang-undang tersebut mulai dari pengajuan Rencana Undang-undang (RUU) nya sampai disahkannya RUU tersebut sebagai UU.
Hanya saja, interpretasi sejarah mempunyai kelemahan. Hukum itu bersifat dinamis dan berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Maksud dari sebuah peraturan yang diinginkan oleh pembuat undang-undang saat mereka membuat undang-undang tersebut belum tentu sesuai dengan realitas yang terjadi saat terjadinya suatu persitiwa. Artinya, sangat mungkin terjadi jurang perbedaan antara ketentuan undang-undang dengan realitas sosial saat ini.
  1. Interpretasi gramatikal dan historis akan menghasilkan penafsiran yang lebih memuaskan apabila dikombinasikan dengan pemahaman bahwa terjadinya sebuah undang-undang selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. Menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain seperti ini disebut penafsiran sistematis atau logis. (Mertokusumo, 2005: 172)
Pitlo, sebagaimana dikutip Achmad Ali (2002: 171) mengatakan bahwa interpretasi sistematis, ini sebagaimana metode interpretasi lainnya, mempunyai nilai relatif. Suatu kata dalam suatu perundang-undangan memiliki makna yang lebih tinggi dibandingkan kata yang sama dalam perundang-undangan yang lain. Inilah, yang menurut penulis, menjadi salah satu kelemahan interpretasi sistematis. Setiap undang-undang lahir dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda. Setiap kata yang muncul dalam sebuah perundang-undangan tentunya lahir menurut suasana yang melingkupi lahirnya undang-undang tersebut dan juga kepentingan yang “menunggangi” pembuat undang-undang. Artinya, tidak setiap kata yang memiliki kesamaan arti dalam undang-undang yang berbeda memiliki kesamaan nilai dan penafsiran. Dan hal inilah yang juga perlu diperhatikan.
  1. Kadang-kadang interpetrasi bahasa dibantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa pengundang-undang (pemerintah) atau pengambil inisiatif  undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu. Ini dinamakan interpretasi sosiologis. (Kusumaatmadja, 1999: 106). Melalui interpretasi ini, hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hukum dengan kenyataan hukum.
Sebagai contoh, ada sebuah undang-undang yang masih berlaku, tetapi sebenarnya jiwanya sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Kemudian berdasarkan interpretasi sosiologis undang-undang ini kenyataannya masih diterapkan terhadap peristiwa atau kasus masa kini, maka sudah barang tentu sebenarnya undang-undang itu tidak layak lagi dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh hakim atau kalaulah dipaksakan penerapannya, maka akan terjadi “pemerkosaan’ hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Contoh konkret lain adalah interpretasi terhadap pasal 362 KUH Pidana: “Barangsiapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimilikinya dengan melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 tahun…” Pada saat pasal ini dibuat, para pembuat undang-undang belum berfikir akan munculnya penggunaan listrik dalam kehidupan manusia modern. Ketika dalam praktik terjadi penyadapan dan penggunaan tenaga listrik, maka hakim sudah semestinya menafsirkan kata “barang” dalam pasal tersebut termasuk jaringan dan aliran listrik, sehingga penyadap listrik dapat dikualifikasikan melakukan kejahatan pencurian listrik. (Hamidi, 2005: 55)
  1. Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh satu interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk undang-undang baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu/menunjang argumentasi sosiologis di atas.[2]
Misalnya adalah UU No. 1 tahun 1974. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman saat itu, dalam mengundangkan UU tersebut adalah untuk mensukseskan pembangunan nasional, salah satunya adalah program keluarga berencana. Menteri Kehakiman saat itu mengatakan:
Apabila kita (masyarakat dan bangsa Indonesia) gagal melaksanakan UU No. 1 tahun 1974 dalam kenyataannya, maka Program Keluarga Berencana yang menjadi salah satu program inti usaha pembangunan nasional semesta berencana akan mengalami kegagalan.”
Dan penelitian yang dilakukan oleh Ronald dan June Katz setelah UU No. 1 tahun 1974 dilaksanakan selama lima tahun memang menunjukkan bahwa pelaksanaan UU tersebut membantu menurunkan angka kelahiran. (Kusumaatmadja, 1999: 108).
  1. Interpretasi Otentik atau penafsiran secara resmi
Adakalanya pembuat undang-undang itu sendiri memberikan penafsiran tentang arti atau istilah yang digunakannya di dalam perundangan yang dibuatnya. Dalam hal ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. (Ardhiwisastra, 2000: 11). Maksud pembuat undang-undang dalam membuat penafsiran tersebut adalah untuk menjadikannya sebagai kaidah umum yang mengikat umum. Oleh karena itu, interpretasi otentik hanya dapat dibuat oleh pembuat undang-undang dan tidak dapat dibuat oleh hakim, karena pada azasnya penafsiran yang dibuat oleh hakim itu hanya mengikat pada dua pihak yang berperkara. (Utrecht, 2002: 217)
Contoh interpretasi seperti ini adalah tafsiran yang terdapat dalam UU N0. 4/Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, misalnya ketentuan tentang garis pangkal lurus.
Tafsiran resmi yang berbentuk definisi atau batasan yang dimuat dalam undang-undang demikian biasanya dimuat dalam pasal-pasal di bagian permulaan batang tubuh undang-undang. Bisa juga termuat dalam Memori Penjelasan, dan dapat juga dimuat dalam salah satu atau lebih pasal dalam undang-undang itu. (Kusumaatmadja,  1999: 109).
  1. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, ini penting, karena dengan pelaksanaan yang berimbang/seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional itu sebagai hukum objektif atau sebagai kaidah hukum umum untuk beberapa negara. (Hamidi, 2005: 55).
  1. Interpretasi Futuristik
Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa RUU itu akan diundangkan (dugaan politis). (Hamidi, 2005: 56)
10.  Interpretasi Restriktif dan Ekstensif
Interpretasi restriktif adalah metode interpretasi yang sifatnya membatasi. Misalnya menurut interpretasi gramatikal kata “tetangga” dalam pasal 666 KUH Perdata, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk seorang penyewa dari pekarangan di sebelahnya. Tetapi kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti hakim telah melakukan interpretasi restriktif.
Sedangkan interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Sebagai contoh, perkataan “menjual” dalam pasal 1576 KUH Perdata oleh hakim ditafsirkan secara luas yaitu bukan semata-mata hanya berarti jual beli, tetapi juga menyangkut peralihan hak. (Mertokusumo, 2005: 175).
Sebagai pengecualian dalam hukum pidana,ada dua pandangan mengenai interpretasi ekstensif ini, yaitu; pertama, menganggap antara interpretasi ekstensif dengan analogi tidak ada perbedaan, oleh karena itu interpretasi ekstensif juga dilarang untuk perkara pidana karena melanggar asas legalitas. Kedua, menganggap kedua berbeda, dan oleh karena itu interpretasi ekstensif ini dalam perkara pidana tidak apa-apa. (Hamidi, 2005: 56).
11.  Interpretasi Interdisipliner
Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.( Ardhiwisastra, 2000: 12). Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”, hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan perdata. Kasus yang akhir-akhir ini jadi pemberitaan di media cetak dan elektronik, pernikahan Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa misalnya, bisa dilihat dengan melihat interpretasi hukumnya pada KUH Perdata tentang status pernikahan dini, dan juga dalam UU Perlindungan Anak yang berkaitan dengan masalah pidananya.
12.  Interpretasi Multidisipliner
Berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. (Ardhiwisastra, 2000: 12)
Hamidi (2005) mengatakan bahwa kemungkinan ke depan, interpretasi multidisipliner ini akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam dan bermunculan, seperti kejahatan cyber crime, white color crime, terrorism, dan lain sebagainya.
Demikianlah pelbagai metode penafsiran yang dikenal yang dapat dijadikan sebagai salah satu sarana bagi hakim untuk menerapkan hukum positif. Teknik interpretasi sebagai cara mengartikan dan menerapkan hukum terutama dilakukan bila berkaitan dengan hukum tertulis atau perundang-undangan. Pertanyaan yang kemudian mungkin muncul adalah; metode manakah yang harus dipakai oleh hakim jika dia menghadapi sebuah kasus hukum ?
Mertokusumo (2005: 175) menjawab pertanyaan ini dengan ungkapannya bahwa tidak ada peraturan yang mengharuskan hakim menggunakan metode apa dan dalam peristiwa konkrit mana. Pembentuk undang-undang tidak memberikan prioritas kepada salah satu metode untuk menemukan hukum. Hakim pada akhirnya hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan hak otonom hakim dalam menemukan hukum. Motifasi pemilihan metode interpretasi juga tidak pernah kita temukan dalam yurisprudensi. Tidak didapatkan secara jelas mengapa seorang hakim menggunakan metode yang ini dan tidak menggunakan metode yang itu. Di dalam putusan-putusannya, hakim tidak pernah menegaskan argumen atau alasan apakah yang ia pakai dalam menentukan suatu metode interpretasi. Hakim juga sangat memungkinkan memakai berbagai metode untuk satu kasus, mencampuradukkan antara satu metode interpretasi dengan metode yang lain dalam menemukan hukum dengan pertimbangan rasional dan keadilan yang ia miliki. Sehingga satu interpretasi undang-undang yang dilakukan oleh seorang hakim bisa saja memuat unsur gramatikal, sosiologis, historis, sistematis dan teleologis dalam waktu yang sama.
  1. 2. Metode Konstruksi
Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada perturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada atau tidak lengkap hukumnya sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, Mertokusumo (1996: 157) mengatakan bahwa hakim harus melakukan konstruksi hukum dengan metode berfikir analogi, penyempitan hukum dan a contrario.
  1. Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Analogi merupakan salah satu jenis konstruksi hukum yang sering digunakan dalam perkara perdata, tetapi menimbulkan polemik penggunaannya dalam perkara pidana. Analogi merupakan salah satu metode penemuan hakim dimana hakim mencari esensi yang lebih umum pada suatu perbuatan yang diatur oleh undang-undang dengan pada perbuatan atau peristiwa yang secara konkrit dihadapi hakim. (Ali, 2002: 182). Analogi memberikan penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. (Mertokusumo, 1996: 158)
Misalnya adalah UU Pasal 1576 KUH Perdata hanya mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Kemudian di dalam praktik, perkara yang dihadapi oleh hakim adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa menyewa ataukah sebaliknya ? Karena undang-undang hanya mengatur tentang jual beli, dan tidak tentang hibah, maka hakim wajib melakukan penemuan hukum agar dapat membuat putusan untuk perkara itu. Hakim wajib memutus berdasarkan asas ius curia novit. Karena itu, hakim pertama-tama mencari esensi dari perbuatan jual beli. Ditemukan bahwa esensinya adalah peralihan hak. Lalu dicari juga esensi dari perbuatan hibah, ditemukan juga esensinya adalah peralihan hak. Dengan demikian ditemukan bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum), sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species. Berarti metode analogi ini menggunakan penalaran induksi, berpikir dari yang khusus ke yang umum. (Ali, 2002: 182)
  1. Argumentum a Contrario
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada perstiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Ini merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku hal yang sebaliknya. (Kansil, 1989: 69).
Misalnya adalah tentang ketentuan bagi duda yang hendak kawin lagi yang tidak tersedia peraturannya. Peristiwa yang tersedia bagi peristiwa yang tidak sama tetapi mirip adalah bagi janda, yaitu pasal 39 PP No. 9 tahun 1975; bagi janda yang hendak kawin lagi harus menunggu masa iddah. Pasal tersebut kemudian diberlakukan bagi duda a contrario sehingga duda kalau hendak kawin lagi tidak perlu menunggu. Mertokusumo (2001: 70) mengatakan bahwa baik argumentum per analogiam maupun argumentum a contrario berakar pada asas keadilan: peristiwa yang sama diperlakukan sama, peristiwa yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
  1. Penyempitan Hukum (Rechtsverfijning)
Penyempitan hukum[3] adalah memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas pada suatu peristiwa yang sifatnya khusus atau tertentu.
Mertokusumo (2001: 71) mengatakan  bahwa dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Peristiwa yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Misalnya adalah maksud dari perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 BW yang masih terlalu umum dan luas harus dipersempit ruang lingkupnya.
  1. D. Antara Kepastian Hukum dan Kemerdekaan
Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya, ada dua aliran yang berkembang tentang sebatas mana seorang hakim bisa menemukan hukum, yaitu penganut doktrin sensclair dan penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan. Di sini lah terjadi benturan antara kepastian hukum dan kemerdekaan. Kendati menerima penafsiran, aliran pertama menghendaki agar lingkaran peraturan itu tidak diterobos keluar. Metode-metode penafsiran yang dipakai, seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis misalnya, tetap harus berlangsung dalam lingkaran undang-undang. Aliran tersebut bahkan menerima konsekuensi disebut mengabadikan ketidak-adilan manakala suatu peraturan dinilai tidak adil, maka demi kepastian “kepastian dari ketidakadilan” atau kepastian yang tidak adilpun diterima sebagai resiko atau ongkos yang harus dibayar.
Di sisi lain, kemerdekaan tidak bisa menerima peraturan yang dirasa tidak adil dan karena itu memilih melakukan pembebasan dan keluar dari lingkaran peraturan yang ada. Inilah esensi dari aliran Realisme. (Rahardjo, 2005: 8).
Peraturan sebagai suatu yang legal dan kenyataan sebagai sesuatu yang sociological, empirical, bukan dua hal yang terpisah dan bisa dipisahkan secara mutlak. Setiap kenyataan harus melihat pada peraturan, dan sebaliknya peraturan juga harus melihat pada kenyataan. Penafsiran adalah hal yang akan menjadi jembatan di antara keduanya Oleh karena itu, penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau perkembangan yang terjadi di masyarakat. Jika kedua macam pembacaan, pembacaan peraturan dan pembacaan kenyataan sosial, digabungkan, maka akan muncul pembacaan dan penafsiran yang lebih inovatif, kreatif, dan berkeadilan.
Ketika sebuah peraturan sudah diundangkan dan “dipasarkan” pada publik, maka ia dianggap sudah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Sebagaimana contoh yang sudah disampaikan sebelumnya, undang-undang harus bisa menyelesaikan persoalan pencurian aliran listrik yang ketika undang-undang itu dibentuk aliran listrik belum dikategorikan sebagai barang dan bahkan belum ada dalam benak “produsen”nya. Rahardjo (2005: 9) mengatakan bahwa sejak penerapan peraturan adalah time bound dan space bound dan peraturan yang dibuat itu juga terkait pada keduanya, maka setiap saat peraturan itu akan mengalami pendefinisian kembali agar bisa melayani situasi “di sini dan sekarang”. Oleh sebab itu dikatakan, bahwa penegakan hukum itu bukan semata-mata pekerjaan mesin yang otomatis dan linier, akan tetapi penuh kreatifitas. Pekerjaan menemukan hukum adalah pekerjaan kreatif dan di situlah terletak penafsiran.
Penafsiran yang kreatif dan inovatif merupakan salah satu kritik atas metode penemuan hukum yang positivistik yang berkembang di abad 19 yang merupakan pengaruh ajaran Trias Politica Montesquieu. Trias Polica memberikan pemisahan yang jelas antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemisahan tersebut menentukan batas yang tegas bagi penegakan hukum sehingga tidah boleh sama sekali memasuki ranah perbuatan hukum. Penemuan hukum didirikan sebagai bagian dari penerapan aturan terhadap kenyataan dan aturan itu hanya diberikan oleh undang-undang. Suatu putusan tidak boleh dibatalkan atas pertimbangan yang sifatnya umum, melainkan hanya manakala terjadi kesalahan dalam penerapan undang-undang. Hakim tidak diperbolehkan “mengganggu” undang-undang dengan putusannya. Kodifikasi –yang merupakan ciri positivisme- beranggapan bahwa legislatif dengan segala kekuatannya telah mengatur semua kejadian yang akan datang. Tidak ada kekosongan dan cacat di dalamnya, sehingga penafsiran adalah sebuah kegiatan yang tidak diperlukan bahkan dianggap berlebihan. Memang undang-undang sebagai karya manusia mengandung cacat, akan tetapi itu harus dikembalikan pada badan legislatif. Bukan menjadi tugas hakim untuk member penafsiran guna mengurangi cacat atau kekosongan itu.
Aliran ini akhirnya mulai banyak dikritik, terutama oleh Aliran Realisme yang pada akhir abad 19 merupakan aliran pemikiran yang kuat di Amerika Serikat. Aliran inilah yang menurunkan keperkasaan undang-undang yang dihasilkan oleh badan legislatif yang menjadi pusat kehidupan hukum dari singgasananya. Tidak ada satu pusat, tetapi sumber hukum itu tersebar pada berbagai sumber lain. Sejak kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh badan legislatif, maka hakim muncul sebagai pusat yang baru (Judge Made Law). (Rahardjo, 2005: 13). Realisme Hukum dan juga Ajaran Hukum Bebas lah yang memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan penafsiran hukum dan menolak cara kerja Aliran Hukum Analitis (analytical jurisprudence) yang sangat mengandalkan pada dan mempercayai adanya kepastian (certainly).
Salah satu hal yang penting dari paparan tersebut adalah adanya pergulatan antara pikiran analitis dan realitas atau sosiologis sebagaimana diwakili oleh analytical jurisprudence dan legal realism. Yang pertama selalu melihat ke dalam bingkai peraturan dan tidak keluar dari lingkaran itu. Berdasarkan pemikiran hukum yang demikian itu, maka penafsiran hukum menjadi hal yang ditabukan. Tidak ada dan tidak boleh ada penafsiran, yang ada adalah penafsiran hukum, undang-undang. Penafsiran itu ada di tangan badan legislatif karena ketika pembuatan hukum terjadi, maka penafsiran sudah ada di dalamnya. Di sini kepastian sangat diunggulkan, bahkan samapai titik mutlak. Dan kepastian itu diperoleh dengan membaca undang-undang. (Rahardjo, 2005: 11)
Sebaliknya, pikiran relais dan sosiologis berpendapat bahwa hukum itu merupakan kerangka yang abstrak sedangkan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya adalah unik. Kalau orang berpegang pada kata-kata undang-undang, maka sifat unik dari perkara itu akan hilang dan dikesampingkan. Maka setiap pembuat putusan hukum adalah aktivitas yang kreatif, demi melayani keunikan tersebut. (Rahardjo, 2005: 12). Dan penafsiran yang bebas akan memberikan ruang yang luas untuk hal tersebut. Rasa keadilan akan lebih diutamakan daripada kepastian yang tidak berkeadilan. Teks undang-undang dijadikan sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya, menjadikan teks undang-undang sebagai tujuan akhir walaupun bertentangan dengan keadilan dan tidak mampu melayani tuntutan masyarakat.
Hukum dan penafsiran seperti itulah yang penulis katakan sebagai hukum dan penafsiran yang berkeadilan karena menjadikan teks undang-undang tidak semata sebagai teks yang “mati”, akan tetapi berjalan dan menyesuaikan dengan pergerakan dan perkembangan masyarakat demi mencapai sebuah tujuan ideal, yaitu keadilan.
  1. E. Penutup
Paparan di atas memberikan sedikit gambaran bahwa interpretasi hukum merupakan salah satu sarana yang dipakai untuk memahami hukum, menemukannya dan menjadi “jembatan” perantara antara teks undang-undang dengan kenyataan sosial, antara kepastian hukum dengan pemenuhan rasa keadilan. Teori interpretasi nampaknya akan terus berkembang, dari yang menjadikan interpretasi hanya pada sisi gramatikal sampai penafsiran yang interdisipliner dan multidisipliner, dan bahkan penafsiran progresif dan berkeadilan. Perkembangan metode interpretasi hukum, menurut penulis, tidak lepas dari adanya kebutuhan mendesak untuk melayani kebutuhan masyarakat dan mengikuti perkembangan sosial yang tiada hentinya. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta: Toko Gunung Agung.
Ardhiwisastra, Yudha Bahkti, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni.
Dirjosisworo, Sujono, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hamidi, Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum,Yogyakarta: UII Press.
Kansil, C. S. T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Kusumaatmadja, Mochtar dan Arief Sidharta, 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.
Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
—————–, 2005, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Rahardjo, Satjipto, 2005, “Penafsiran Hukum yang Progresif” dalam Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Bandung: Refika Aditama.
Sudarsono, 1991, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta
Suherman, Ade Maman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Susanto, Anthon Freddy, 2005, Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Bandung: Refika Aditama.
Utrecht, E. dan Moh. Saleh Djindang, 1989, cet. XI, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

No comments:

Post a Comment