Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) Daring, yang dimaksud dengan pub adalah:
tempat hiburan khusus untuk mendengarkan musik sambil minum-minum yg dibuka pd waktu malam (sampai larut malam)
Di dalam KBBI Daring, definisi pub mirip dengan bar yaitu:
tempat minum-minum (biasanya minuman keras, spt anggur, bir, wiski)
Selanjutnya, kami akan jelaskan perizinan usaha bar menurut peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf a Keputusan
Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. 104/PW.304/MPPT-91 Tahun
1991 tentang Ketentuan Usaha Bar (“Kepmen Pariwisata No. 104/1991”),
yang dimaksud dengan bar adalah setiap usaha komersial yang ruang
lingkup kegiatannya menghidangkan minuman keras dan/atau minuman lainnya
untuk umum di tempat usahanya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan bar
dalam ketentuan Kepmen Pariwisata No. 104/1991 tidak termasuk Bar yang
merupakan salah satu fasilitas usaha hotel, restoran dan usaha rekreasi
dan hiburan umum (Pasal 1 ayat (2) Kepmen Pariwisata No. 104/1991).
Pada
dasarnya, kegiatan usaha yang dilakukan oleh bar adalah kegiatan
penjualan dan penyediaan jasa pelayanan minuman keras dan/atau minuman
lainnya kepada tamu bar (sebagai usaha pokok) serta makanan ringan
sebagai usaha penunjang yang tidak terpisah dari usaha pokoknya, dengan
ketentuan bahwa penjualan minuman keras hanya diperbolehkan kepada tamu
bar yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas untuk diminum di
lingkungan bar (Pasal 2 Kepmen Pariwisata No. 104/1991).
Untuk melakukan kegiatan usaha bar dibutuhkan izin sebagai berikut (Pasal 6 jo. Pasal 7 Kepmen Pariwisata No. 104/1991):
a. izin
usaha, yang diberikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I cq. Kepala
Dinas Pariwisata Daerah Tingkat I, tembusan disampaikan kepada Direktur
Jenderal Pariwisata melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata,
Pos dan Telekomunikasi setempat;
b. izin
penjualan minuman keras oleh instansi yang berwenang. Dalam hal ini
dikeluarkan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk Daerah Khusus
Ibukota Jakarta (Pasal 5 ayat [1] Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol)
Kemudian,
dalam menjalankan usaha bar, pimpinan usaha bar mempunyai kewajiban,
yang salah satunya adalah menjaga martabat usaha mencegah penggunaan Bar
untuk kegiatan-kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum serta
pelanggaran kesusilaan (Pasal 5 huruf c Kepmen Pariwisata No. 104/1991).
Penyediaan
pekerja seks komersial atau pelacur itu sendiri pada dasarnya melanggar
kesusilaan. Karena itu, pemilik pub atau bar dilarang menyediakan
pekerja seks komersial. Jika ada pub yang menyediakan pekerja seks
komersial, maka pemiliknya bisa dijerat dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi:
“Barang
siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh
orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Mengenai ketentuan Pasal 296 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa pasal ini untuk memberantas
orang-orang yang mengadakan rumah bordil atau tempat-tempat pelacuran.
Supaya dapat dihukum berdasarkan pasal ini, harus dibuktikan bahwa
perbuatan itu menjadi “pencaharian” (dengan pembayaran) atau
“kebiasaannya” (lebih dari satu kali). Yang dimaksud perbuatan cabul itu
sendiri, merujuk kepada penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 289 KUHP,
yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau
perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin,
seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah
dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula dalam pengertian
perbuatan cabul.
Akan
tetapi, perlu diingat bahwa hukuman pidana tidak dapat dikenakan kepada
korporasi karena berdasarkan perumusan dalam KUHP, yang dihukum adalah
seseorang atau barang siapa yang melakukan tindakan tersebut.
Apabila
penyediaan pekerja seks komersial tersebut dilakukan dengan ancaman
kekerasan atau paksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja
seks komersial, maka bisa juga dikenakan pidana berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentangPemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU No. 21/2007”).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 21/2007, perdagangan orang adalah
tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
Sedangkan, yang dimaksud dengan eksploitasi adalah
tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi
tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan
atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan
fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan
atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan
tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan
keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Apabila tindak pidana perdagangan orang tersebut dilakukan oleh korporasi, berdasarkan Pasal 15 UU No. 21/2007,
terhadap tindak pidana tersebut dapat dikenakan pidana penjara dan
denda terhadap pengurusnya, selain itu, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi itu sendiri adalah berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU No. 21/2007, serta dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status badan hukum;
d. pemecatan pengurus; dan/atau
e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
Jadi,
dapat kiranya disimpulkan bahwa pemilik usaha pub atau bar dilarang
menyediakan pekerja seks komersial. Pelanggaran terhadap larangan
tersebut dapat berakibat pemilik pub/bar yang bersangkutan dipidana, dan
izin usahanya dicabut.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
4. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. 104/PW.304/MPPT-91 Tahun 1991 tentang Ketentuan Usaha Bar.
No comments:
Post a Comment