Pada prinsipnya, dalam menjalankan tugas
profesinya advokat terikat pada kode etik profesi advokat dan peraturan
perundang-undangan. Advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sumpah/janji advokat
atau kode etik profesi advokat (lihat pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat/”UU Advokat”).
Perbuatan menolak klien sendiri merupakan pelanggaran terhadap sumpah/janji advokat yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Salah satu sumpah/janji yang diucapkan advokat berbunyi:
“Bahwa saya
tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di
dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada
tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.”
Namun, di dalam Kode Etik Profesi
Advokat (“KEAI”) advokat dibolehkan atau bahkan diwajibkan – dalam
kondisi-kondisi tertentu -- untuk menolak perkara atau memberikan
bantuan hukum kepada calon klien, atau mengundurkan diri dari pengurusan
perkara kliennya. Dalam kaitan ini, KEAI mengatur bahwa:
a. advokat
dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap
orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (lihat pasal 3 huruf a KEAI);
b. advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (lihat pasal 4 huruf g KEAI);
c. advokat
yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan
tersebut, apabila di kemudian hari timbul pertentangan-pertentangan antara pihak-pihak yang bersangkutan (lihat pasal 4 huruf j KEAI).
Akan tetapi, KEAI melarang advokat
menolak klien dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku,
keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya
(lihat pasal 3 huruf a KEAI). Larangan yang sama juga diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Advokat.
Selain itu, advokat juga tidak
dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang
tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang
bersangkutan (lihat pasal 4 huruf i KEAI).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa advokat
diperbolehkan menolak klien apabila terpenuhi syarat dan kondisi-kondisi
yang diatur dalam pasal 3 huruf a, pasal 4 huruf g dan huruf j KEAI.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2. Kode Etik Advokat Indonesia
No comments:
Post a Comment